Jumat, 10 April 2015

Saat Awan Berubah

“Awan, saya marah sama kamu..” cetus Jingga ketika mereka duduk saling berdampingan di warung mie ayam favorit mereka. Awan yang sedang menyeruput es teh nya mendadak tersedak. Sambil menanti Awan yang sedang sibuk batuk-batuk, Jingga hanya mengerucutkan bibirnya, tetapi tangannya menepuk-nepuk pundak Awan dengan agak keras, tak sabaran.

“Well, ini pertama kalinya saya dengar kamu bilang kata-kata macam begitu, “ ia tertawa tanpa rasa bersalah, membuat Jingga makin sebal, “ini kemajuan, biasanya kan kamu tidak pernah berani langsung to the point seperti ini, bagus sekali! Harus kita rayakan dengan makan es krim cokelat kesukaanmu, Ga..”

“Es krim kepalamu..” jawabnya, gadis mungil itu membuat gerakan menusuk ke dalam mangkok mie nya yang tak berdosa apa-apa. “Baiklah.. Baiklah.. Memangnya salah saya apa?” Awan menunggunya untuk menelan habis semua makanan di dalam mulutnya.

“Saya sebal soalnya akhir-akhir ini kamu sering hilang. Waktu saya butuh kamu banget, kamu malah nggak ada..” Awan langsung terdiam, membeku di tempatnya. “Kamu tahu kalau ini pertama kalinya dalam sebulan ini kamu makan bareng sama saya lagi..”

Awan bukannya tidak menyadari tentang hal ini, ia merasa kehilangan sekali malahan. Jadi ia hanya bisa menunduk, tak berani memandang wajah Jingga lagi. “Kamu orang yang paling tahu kalau saya ini jarang marah sama orang lain, biasanya saja jarang bisa serius, tapi kamu udah keterlaluan. Kalau boleh saya tanya, memangnya salah saya itu apa ke kamu? Saya pernah sakitin hati kamu?”

Pria disampingnya hanya menggelengkan kepalanya pelan. “Kamu nggak punya salah apa-apa sama saya, malahan saya yang punya banyak salah ke kamu. Saya ngerasa udah ngelanggar janji kita..”

“Janji apa?”

“Janji kalau kita jadi sahabat selamanya..”

Dengan kaget, Jingga balas bertanya pada Awan, “Jadi... Jadi.. Kamu nggak mau jadi sahabat saya lagi? Kamu bohong kan? Bilang aja salah saya apa, biar saya bisa hukum diri saya sendiri, dan punya muka lagi untuk minta maaf ke kamu..”

“Bukan, Ga. Percaya sama saya, bukan itu..” Beribu pertanyaan muncul dari ekspresi Jingga, Awan menghela napas pelan. “Saya cuma ngerasa kalau kamu mulai berubah, dan saya juga berubah. Kita udah berubah, kamu sadarin itu ngga, sih?”

“Ya, benar kamu memang berubah, Wan..” ujar Jingga. Dengan kecewa, Awan menenggak es teh nya lagi, berusaha mendinginkan otak dan juga hatinya. “ rasanya kamu bukan Awan yang saya udah kenal dari dulu. Saya nggak pernah berubah, dan selamanya kamu tetap saya anggap sebagai sahabat terbaik saya..” Jingga beranjak bangun, membayar mie dan es jeruknya lalu meninggalkan Awan yang masih membatu di tempat duduknya tanpa menoleh sedikitpun.

“Sayangnya, saya sudah nggak bisa mengganggap kamu hanya jadi sahabat saya, Ga.”


Andai saja Awan bisa mengutarakannya langsung pada sahabatnya sejak kecil itu.